gambar: tekoo.com |
Minggu-minggu ini aku lagi jor-joran sekali beli kerudung. Akhir tahun banyak diskon besar-besaran yang sayang sekali untuk dilewatkan. Uang tabunganku setahun belakangan terkuras habis. Tapi aku puas dengan semua ini. Mulai besok aku tak lagi bingung memadupadankan baju yang kupunya dengan kerudung yang selama ini minim sekali.
Ayah sampai tak habis pikir melihat kelakuanku. Aku berkali-kali meyakinkannya, dari pada aku belikan barang-barang nggak jelas, mending aku belikan sesuatu yang pasti bermanfaat kan?
Ayah sampai tak habis pikir melihat kelakuanku. Aku berkali-kali meyakinkannya, dari pada aku belikan barang-barang nggak jelas, mending aku belikan sesuatu yang pasti bermanfaat kan?
Tak terasa sudah dua tahun ini aku berhijab. Dua tahun yang jika mau dibilang mudah ya tidak, dibilang sulit ya tidak terlalu sulit. Akhirnya aku berhijab setelah sebelumnya aku tak berbeda dengan remaja kebanyakan. Celana jins pensil ketat, kaos lengan pendek, atau dress selutut. Orang tuaku tak pernah mempermasalahkan penampilanku. Bahkan, dirumah ini akulah orang pertama yang berhijab. Almarhumah ibuku dulu juga tak berhijab. Hidayah itu datang tatkala aku tak sengaja bergabung di Rohis SMA –ku. lebih tepatnya karena nyasar bisa sampai ikut organisasi ini. Aku begitu saja mau diajak daftar masuk Rohis karena sudah lelah gagal masuk organisasi yang kuidamkan. OSIS, dan Pramuka. Namun disini kutemukan banyak hikmah. Aku mengambil keputusan berhijab ditengah keluarga yang tak terlalu religius. Tadinya kupikir akan banyak rintangan berat yang harus kujalani, namun dua tahun berjalan, semuanya lancar-lancar saja. Ayahku tak mempersoalkan perubahan penampilanku. Kakak masih bekerja diluar negeri sejak tiga tahun belakangan, jadi belum sempat melihat perubahanku. Aku sengaja tak memberitahunya, biar jadi kejutan saja. Rencananya bulan ini ia akan pulang.
Aku sudah lulus SMA sejak enam bulan lalu. Dengan berbagai pertimbangan, aku memutuskan untuk tak melanjutkan kuliah dan bekerja saja. Namun, pekerjaan memang sulit dicari. Entah sudah berapa perusahaan yang sudah kukirimi surat lamaran, semua menolak. Sebagian karena kualifikasiku tak mencukupi, sebagian lagi karena kerudungku. Dan itu yang paling menyakitkan.
Ayah tak terlalu ambil pusing dengan status pengangguranku. Mungkin karena aku perempuan yang tak memiliki kewajiban moral dan finansial seperti laki-laki. Apalagi aku satu-satunya perempuan dirumah ini. “Biarlah kamu mengurus rumah dulu dek,” katanya.
***
Matahari masih belum seberapa tinggi ketika aku sibuk menyapu halaman belakang rumah. Sesekali berhenti dan bercengkrama dengan tetaangga yang lewat. Tak lama kemudian terdengar tawa dari dalam rumah. Mungkin teman bapak yang biasa berkunjung. Aku tak menghiraukannya.
Rumput sudah mulai lebat dihalaman rumah. Aku berbalik ke dapur hendak mengambil pisau untuk membabatnya ketika kutemukan seseorang yang kukenal berdiri diambang pintu. Kakak tiba lebih cepat dari yang ia kabarkan. Ia sepertinya ingin membuat kejutan juga. Namun siapa sangka, justeru ia sendiri yang terkejut melihat penampilanku sekarang.
Aku tersenyum manis didepannya dan berlari mendekat memeluknya. Tiga tahun tak bertemu kakak kandung sendiri, adalah hal yang berat bagiku. Aku sangat bahagia dengan pertemuan ini. Namun tampaknya kakakku tak terlalu bahagia. Air mukanya berubah sejak aku menatapnya tadi. Bukan, bukan karena ia tak rindu padaku. Aku yakin, pasti karena penampilanku sekarang.
Tanpa bertanya kabar, ia hanya bertanya dengan nada kesal, “Sejak kapan kamu seperti ini?”
Aku terdiam lama, menunduk dalam. Aku tak menyangka respon kakakku akan seburuk ini.
“Jawab!” Kakak mulai marah dengan kediamanku.
“Sudah dua tahun ini kak,” Aku masih menunduk dalam.
Kakak kemudian menyumpahiku dengan berbagai kalimat meyakitkan. “Pantas saja kau tak dapat pekerjaan, kerudungmu itu dek, ngapain sih pake kerudung segala. Bikin repot aja. Ngga usah sok alim. Kelakuanmu itu dibenerin dulu. Jangan bisanya cuma minta duit terus ke ayah, ngrepotin terus!”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Kakaku memang tempramental, namun ia tak pernah semarah ini padaku, terlebih sejak ibu meninggal tiga tahun lalu. Tiga tahun menghadapi kerasnya negeri orang ternyata turut memperkeras hatinya.
Kakakku melemparkan sebuah brosur perusahaan tepat didepan mukaku. Sebuah perusahaan asuransi.
“Lepas kerudungmu sekarang juga! kau diterima di perusahaan ini. Minggu depan kau mulai kerja.”
Aku hanya bisa menangis. Membantahnya sekarang tentu tak ada gunanya, apa lagi menjelaskan kewajibanku berhijab sebagai seorang muslimah. Kubiarkan kakak masuk kekamarnya dengan membanting pintu.
Ayah, yang sedari tadi hanya diam melihat kakak memarahiku, mendekat dan menepuk pundakku. “Sudah, biar nanti ayah bicara sama kakakmu.”
Berhari-hari setelah itu, waktu ku kuhabiskan dikamar saja. Kucoba berkali-kali menjelaskan pada kakak, aku tak mau melepas kerudung untuk bekerja di perusahaan itu, ayah juga telah bicara padanya untuk membatalkan saja keputusannya menyuruhku bekerja disana.
“Yah, aku malu sama temenku. Ini kemarin aku udah susah payah masukin Daniar ke sana, masa mau dibatalin gitu aja. Lagian dia ngapain sih pake kerudung segala. Bikin susah cari uang yah, perusahaan sekarang itu susah dimasukin wanita berkerudung.”
“Yah, aku malu sama temenku. Ini kemarin aku udah susah payah masukin Daniar ke sana, masa mau dibatalin gitu aja. Lagian dia ngapain sih pake kerudung segala. Bikin susah cari uang yah, perusahaan sekarang itu susah dimasukin wanita berkerudung.”
Begitu yang kudengar saat ayah mencoba mengajak kakak bicara. Kakak memang tipe orang yang tak mau dibantah. Beda dengan ayah yang lebih demokratis. Aku semakin bingung dengan semua ini. Aku tak mau terus-terusan merepotkan ayah yang mulai renta, namun aku juga tak bisa jika harus melepas kerudungku.
Hingga sore itu, lima hari sebelum jadwalku bekerja di kantor asuransi milik teman kakak, sekali lagi kakak menceraku dengan kalimat menusuk.
“Kamu ngga kasihan dek sama ayah? Sudah saatnya ayah istirahat, sudah mulai sakit-sakitan. Kita tuh harus mandiri. Oke kalau kamu bisa dapet pekerjaan yang gajinya setara dengan gaji perusahaan tempat kamu bekerja minggu depan itu dalam lima hari ini, kakak ngga akan maksa kamu bekerja disana.”
“Kamu ngga kasihan dek sama ayah? Sudah saatnya ayah istirahat, sudah mulai sakit-sakitan. Kita tuh harus mandiri. Oke kalau kamu bisa dapet pekerjaan yang gajinya setara dengan gaji perusahaan tempat kamu bekerja minggu depan itu dalam lima hari ini, kakak ngga akan maksa kamu bekerja disana.”
Lima hari? Aku tak yakin bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji setinggi itu. Aku tak menjawab apapun. Dan kakak selalu menganggap diam ku berarti setuju. Mau tak mau kukontak semua teman yang kupunya, yang mungkin bisa mencarikanku pekerjaan lain. Yang bisa menerimaku, juga menerima kerudungku.
Namun lima hari teramat singkat untuk mencari pekerjaan dengan gaji yang lumayan tinggi itu. Aku tak berhasil mendapatkannya. Kakak sudah tak bisa lagi dibantah. Dengan berat hati, aku lepas jilbabku dan menuruti kemauan kakak. Keputusan yang sangat berat, teramat berat, yang terpaksa aku ambil. Terlebih melihat Ayah yang jatuh sakit kemarin. Aku sudah tak mampu lagi menahan desakan kakakku.
***
Hari demi hari kulalui pekerjaan sebagai marketing di sebuah perusahaan asuransi. Penampilan memang salah satu hal terpenting disini untuk menarik calon nasabah. Pekerjaanku bagus, didorong kemampuan negosiasiku sudah terlatih sejak aku sekolah dengan sering tampil sebagai juara berbagai perlombaan debat.
Aku memang memperoleh komisi lumayan disini, setidaknya cukup untuk membiayai kebutuhanku dan sedikit membantu kebutuhan ayah yang tak lagi bekerja sejak sakit asma yang dideritnaya kian parah.
Namun tetap ada beban dosa yang menghantui tiap kali aku mematut diri di depan cermin. Semakin lama semakin tak tertahankan rasa takut itu. Aku takut sekali, Allah pasti sudah murka dengan kelakuanku ini.
Kucoba mencari pekerjaan lain ditengah kesibukan pekerjaanku. Betapa kutemukan banyak celah yang bisa kumasuki dengan penampilanku seperti ini. Nyaris saja aku goyah dan melupakan niatanku untuk kembali mencari tempat bekerja yang mau menerimaku dengan kerudungku, jika saja tak kutemui Bu Mina. Bu Mina, pemilik gerai pastry, yang tadinya heran melihat penampilanku yang masih tak berkerudung, kemudian bertanya lowongan pekerjaan untuk gadis berkerudung, memberiku kesempatan bekerja digerainya setelah kuceritakan permasalahanku.
Meski gaji yang bisa diberikan Bu Mina tak setinggi komisiku di perusahaan asuransi, aku nekat saja. Tak tahan lagi aku menahan semua ini. Rasa bersalahku sudah sedemikian besar. Ada kekhawatiran imanku goyah lagi seperti saat kakak mendesakku untuk bekerja di perusahaan asuransi ini, namun aku bertekad untuk tak mengulangi kesalahan yang sama. Beruntung, aku bertemu Bu Mina yang sangat peduli padaku. Beliau memberiku pencerahan untuk kembali berhijrah. Akan kubuktikan pada kakak bahwa kerudung tidaklah menghalangi, tapi melindungi.
Risma Nur Anissa
Semarang, 29 Mei 2016
wah.. bagus sekali ceritanya. menyentuh hati. terlebih lagi sebagai seorang wanita. Subhanallah. teruslah berkarya, dek :)
BalasHapus